Minggu, 12 Februari 2012

Keutamaan menyembunyikan amalan sholeh

 SUNGGUH SANGAT BESAR keutamaan orang yang menyembunyikan amalan shalihnya. namun ketika seseorang SUDAH BERUSAHA MENYEMBUNYIKAN amalan shalihnya, akan tetapi ‘KEPERGOK’ orang (baik terlihat atau terdengar), maka JANGANLAH ia MEMBATALKAN AMALnya, akan tetapi hendaknya ia tetap mengikhlashkan amalnya.
Alangkah indahnya perkataan imam al-fudhail bin iyadh dalam menjelaskan riya’ :
“Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya` sedangkan beramal karena manusia adalah kesyirikan, adapun yang namanya ikhlash adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.”
Maksud beliau adalah apabila ada seseorang meninggalkan amal kebaikan karena takut riya` seperti dia tidak mau shalat sunnah karena takut riya’, berarti dia sudah terjatuh pada riya` itu sendiri.
Yang seharusnya dia lakukan adalah tetap melaksanakan shalat sunnah walaupun di sekitarnya ada orang dengan tetap berusaha untuk ikhlash dalam amalnya tersebut.
[Lihat: Tazkiyyatun Nufuus, karya Ibnu Rajab, Ibnul Qayyim dan Abu Hamid, hal.17, dengan beberapa perubahan. baca: ikhlash dalam beramal]
Menyembunyikan amalan dan menampakkan amalan, keduanya adalah suatu kebaikan selama seseroang mengikhlashkan niatnya
Kita perlu mengingat, bahwa Allah berfirman:
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari, secara tersembunyi maupun TERANG-TERANGAN, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Al-Baqara: 274)
Demikian juga dengan firmanNya:
إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ
Jika kamu MENAMPAKKAN sedekah(mu), maka itu adalah BAIK.
وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu LEBIH BAIK BAGIMU.
(Al-Baqara: 271)
Maka keduanya adalah KEBAIKAN, akan tetapi, yang satu LEBIH UTAMA daripada yang lain, SELAMA ia melakukan IKHLASH karena Allah, dan menjaga dirinya dari tujuan duniawi.
Keutamaan menyembunyikan amalan shalih
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
“Orang yang mengeraskan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang terang-terangan dalam bersedekah. Orang yang melirihkan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang sembunyi-sembunyi dalam bersedekah.”
[HR. Abu Daud no. 1333 dan At Tirmidzi no. 2919, dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhaniy. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]
Setelah menyebutkan hadits di atas, At Tirmidzi mengatakan,
“Hadits ini bermakna bahwa melirihkan bacaan Qur’an itu lebih utama daripada mengeraskannya karena sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari sedekah yang terang-terangan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama. Mereka memaknakan demikian agar supaya setiap orang terhindar dari ujub. Seseorang yang menyembunyikan amalan tentu saja lebih mudah terhindar dari ujub daripada orang yang terang-terangan dalam beramal.”
(dinukil dari rumaysho.com)
Bahkan keutamaannya sangat besar, Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ
“Ada tujuh golongan yang akan Allah naungi dengan naungan-Nya, pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
(diantaranya) …dan seorang yang bersedekah lalu ia menyembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya…”
‎وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
dan Seseorang yang berdzikir kepada Allah secara menyendiri, lalu air matanya berlinang.
[Riwayat al-Bukhari dalam Shahīh-nya I/234/629 dan Muslim dalam Shahīh-nya II/715/1031.]
Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata,
“Sikap ini merupakan tanda kuatnya iman seseorang di mana cukup baginya bahwa Allah mengetahui amalannya (sehingga tidak butuh diketahui oleh orang lain-pen). Dan hal ini menunjukkan sikap menyelisihi hawa nafsu, karena hawa nafsu ingin agar dirinya memperlihatkan sedekahnya dan ingin dipuji oleh manusia. Oleh karenanya sikap menyembunyikan sedekah membutuhkan keimanan yang sangat kuat untuk melawan hawa nafsu”
(Fathul Baari 4/62)
Al-Hafizh Ibnu Hajr berkata:
- Disebutkan tangan kiri dengan tangan kanan karena tangan kiri sangat dekat dengan tangan kanan, dan dimana ada tangan kanan maka tangan kiri menyertainya.
Meskipun demikian, karena tangan kanan terlalu menyembunyikan sedekahnya hingga temannya yang paling dekat yaitu tangan kiri tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanan.
Lafal Nabi ini menunjukkan bentuk mubaalagoh (berlebih-lebihan) dalam menyembunyikan sedekahnya.
- Maksudnya yaitu hingga malaikat yang ada di kirinya tidak mengetahui apa yang telah ia sedekahkan
- Diantara bentuk pengamalan hadits ini yaitu jika seseorang ingin bersedekah kepada saudaranya pedagang yang miskin maka iapun membeli barang dagangan saudaranya tersebut (tanpa menawar harga barang tersebut) bahkan dengan harga jual yang tinggi atau untuk melariskan barang dagangan saudaranya tersebut.
- Maksud dari tangan kiri yaitu dirinya sendiri, artinya ia berinfaq dan menyembunyikan infaqnya sampai-sampai dirinya sendiri tidak tahu (lupa) dengan sedekah yang telah ia keluarkan.
[Fathul Baari (2/146)]
Yang kedua adalah seseorang yang berdzikir mengingat Allah tatkala ia bersendirian lantas iapun mengalirkan air matanya.
Ibnu Hajr menyebutkan dua penafsiran ulama tentang sabda Nabi خَالِيًا “bersendirian” yang kedua tafsiran tersebut menunjukan keikhlasan,
- Maksudnya ia berdzikir kepada Allah tatkala bersendirian dan jauh dari keramaian sehingga tidak ada seorangpun yang melihatnya. Ibnu Hajr berkata, “Karena ia dalam kondisi seperti ini lebih jauh dari riyaa”
(Fathul Baari 2/147)
- Maksudnya yaitu meskipun ia berdzikir di hadapan orang banyak dan dilihat oleh orang banyak akan tetapi hatinya seakan-akan bersendirian dengan Allah, yaitu hatinya kosong dari memperhatikan manusia, kosong dari memperhatikan pandangan dan penilaian manusia.
(Fathul Baari 2/147).
juga keutamaan-keutamaan seperti:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صَلاَةُ الرَّجُلِ تَطَوُّعاً حَيْثُ لاَ يَرَاهُ النَّاسُ تَعْدِلُ صَلاَتَهُ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ خَمْساً وَعِشْرِيْنَ
“Sholat sunnahnya seseorang yang dikerjakan tanpa dilihat oleh manusia niainya sebanding dengan dua puluh lima sholat sunnahnya yang dilihat oleh mata-mata manusia”
(HR Abu Ya’la dalam musnadnya dan dishahihkan oleh Albani dalam As-Shahihah pada penjelasan hadits no 3149)
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda :
تَطَوُّعُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ يَزِيْدُ عَلَى تَطَوُّعِهِ عِنْدَ النَّاسِ، كَفَضْلِ صَلاَةِ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ عَلَى صَلاَتِهِ وَحْدَهُ
“Sholat sunnahnya seseorang di rumahnya lebih bernilai dari pada sholat sunnahnya di hadapan manusia, sebagaimana keutamaan sholat seseorang bersama jama’ah dibandingkan jika ia sholat munfarid (tidak berjamaah)”
(Hadits ini dishahihkan oleh Albani dalam as-Shahihah no 3149)
Janganlah mencela orang yang terang-terangan beramal, karena ENGKAU TIDAK MENGETAHUI ISI HATINYA
dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘amnhu dia berkata;
“Setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan kami untuk bersedekah, maka Abu Uqail bersedekah dengan satu sha’, dan datang seseorang dengan membawa lebih banyak dari itu, lalu orang-orang munafik berkata;
“Allah Azza Wa Jalla benar-benar tidak membutuhkan sedekah orang ini, orang ini tidak melakukannya kecuali dengan riya’. Lalu turun ayat:
{ الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ }
‘Orang-orang munafik itu yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya.”
(Qs. At Taubah 9: 79).
(HR. An Nasaa-iy; Shahiih, dishahiihkan syaikh al-albaniy dalam shahiih an nasaa-iy; redaksi serupa juga ada dalam shahiih bukhariy)
Telah jelas juga firmanNya:
مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِن سَبِيلٍ
Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.
(At-Tawbah: 91)
Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam, bersabda
‎أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا
“Apakah engkau sudah membelah dadanya sehingga engkau tahu apakah hatinya berucap demikian atau tidak?”
(HR. Muslim)
Beliau shalallahu ‘alahi wasallam juga bersabda:
‎…إِنِّيْ لَمْ أُوْمَرْ ، أَنْ أُنَقِّبَ عَلَى قُلُوْبِ النَّاسِ ، وَلاَ أَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ…
“Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk menyelidiki (memeriksa) hati mereka dan tidak pula untuk membedah perut mereka”.
[HR Bukhari no. 4351, Muslim no. 1064 (144) dan Ahmad (III/4-5) dari Abu Said al Khudri Radhiyallahu 'anhu].
‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Barangsiapa menampakkan kebaikan, kami akan mencintainya meskipun hatinya berbeda dengan itu. Dan orang yang menampakkan kejelekannya, kami akan membencinya meskipun ia mengaku bahwa hatinya baik”.
[dari artikel ustadz Yazid dalam majalah as-sunnah]
Maka hendaknya kita tidak bersifat seperti sifat kaum munafiqin, yang MENUDUH seseorang berbuat RIYA’ padahal ia TIDAK MENGETAHUI apa yang ada dalam dada orang yang dituduhnya!!
Setelah mengetahui hal diatas, maka kita, TIDAK BOLEH mencela seseorang yang beramal secara TERANG-TERANGAN, karena TELAH JELAS keutamaan orang yang melakukannya.
Bisa jadi, dia niatnya IKHLASH, dan ia berniat agar orang-orang menirunya, sehingga ia bisa menjadi PELOPOR kebaikan, sehingga karenanya orang termotivasi beramal sepertinya. Seperti; “orang yang berinfaq ditengah-tengah manusia”.
BAHKAN jika ia SAMPAI MENYEBUT AMALnya, maka ini tidak ada celaan. tidakkah kita mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى رَبِّكُمْ فَإِنِّي أَتُوبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ
Wahai, sekalian manusia. Bertaubatlah kepada Allah, karena aku juga bertaubat kepada Allah sehari seratus kali.
(HR. Muslim)
Bukankah beliau diatas MENYEBUTKAN AMALANnya?!
Jika ada yang berkata: “tapi kita telah mengetahui, bahwa beliau adalah seorang yang ikhlash. sedangkan kita?!”
Maka dijawab: “benar, itu untuk PENERAPAN DIRI SENDIRI. akan tetapi untuk orang lain? apakah kita akan menghukuminya sebagaimana kita menghukumi diri kita sendiri? APAKAH KITA SUDAH MEMBEDAH HATINYA sehingga kita tahu bahwa ucapannya tersebut mengandung SUM’AH?!”
Maka, kita hendaknya BERPRASANGKA BAIK, kepada orang tersebut, akan tetapi SEMBARI MENGINGATKANNYA, agar ia bisa tetap menjaga keikhlashannya. dan juga MENDOAKANNYA agar ia tidak sum’ah dalam amalannnya. disamping itu kita pula MENGINGATKANNYA tentang keutamaan menyembunyikan amal yang mungkin belum diketahuinya.
Terlepas dari itu, bisa kita usulkan kepadanya,
“yaa Akhiy, menyebutkan atau mengajak kepada suatu amalan, tidak harus menyebutkan antum mengamalkan amalan tersebut (seperti ucapan ‘saya shalat malam lho. mari kita shalat malam’). karena menyembunyikan amalan itu lebih dekat dari keikhlashan dan menyebutkan amalan lebih dekat daripada ujub, sum’ah dan riya’; akan tetapi aku tidak menuduhmu riya’, sum’ah ataupun ujub”
BUKANKAH PERKATAAN tersebut LEBIH BAIK?!
Ingatlah Kita TIDAK MENGETAHUI isi hati seseorang, akan tetapi kita HANYA MENGHUKUMI secara zhahirnya saja. urusan hati, kita kembalikan kepada individu masing-masing.
Bagaimana jika seseorang yang telah berusaha menyembunyikan amalannya, namun ketahuan juga?!
Ketahuilah pula, dari Abu Hurairah dia berkata:
Seseorang berkata: Wahai Rasulullah ada seseorang yang berbuat suatu amal kemudian dia rahasiakan namun apabila diketahui oleh orang dia menjadi takjub karenanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
لَهُ أَجْرَانِ أَجْرُ السِّرِّ وَأَجْرُ الْعَلَانِيَةِ
“Baginya dua pahala; pahala dia merahasiakan dan pahala dia menampakkan.”
(HR. at Tirmidziy, namun hadits ini dha-’if)
at Tirmidziy berkata:
“Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini dan berkata: Apabila diketahui dan dia takjub karenanya maka itu artinya dia takjub dengan pujian baik orang-orang kepadanya, karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam:
أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ
‘Kalian adalah saksi-saksi Allah di bumi.’
–HR. Bukhariy dan Muslim–
Alhasil, pujian manusia terhadapnya, memang hanyalah sekedar untuk syahadat (persaksian manusia) yang diharapkan.
Adapun jika dia takjub agar orang orang tahu kebaikannya tersebut, dan supaya ia dihormati karenanya dan diagungkan karenanya, maka ini namanya riya’.
Dan sebagian ahli ilmu berpendapat jika diketahui amalnya oleh orang lalu dia takjub dengan harapan orang melakukan apa yang dia lakukan sehingga dia mendapatkan seperti pahala mereka, maka ini ada pendapat lain lagi.”
–selesai perkataan at tirmidziy–
Walaupun hadits diatas dha’iif, namun MAKNANYA BENAR, kita ketika dalam kondisi yang serupa, dapat mengharapkan pahala secara sembunyi-sembunyi dan juga pahala secara terang-terangan, dan tetap mengusahakan ikhlash dan tidak riya’ dalam kondisi tersebut.
Kita mengharapkan pahala sembunyi-sembunyi, karena kita telah mengusahakan amalan kita secara sembunyi-sembunyi. dan kita mengharapkan pahala terang-terangan, karena -bukan berdasarkan kemauan kita-, orang lain melihat/mendengar amalan kita. sehingga kita mengharapkan dua pahala dalam amalan kita tersebut.
Kita mengharapkan dua keutamaan ini BUKAN BERDASARKAN DALIL diatas, karena haditsnya DHAIF, tapi kita melihat dalil-dalil yang lain (yang telah dijelaskan diatas), yang dalil-dalil tersebut menjadi sandaran kita, bukan hadits diatas.
Maka, jika kita telah mengusahakan dari menyembunyikan amal, tapi kepergok (terlihat atau terdengar, bukan atas dasar kemauan kita); maka pertahankanlah keikhlashan, jauhilah ujub, riya’ dan sum’ah; dan harapkanlah DUA PAHALA, pahala sembunyi-sembunyi, dan pahala terang-terangan.
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar